Friday, July 29, 2011

My Cerpen "Pengantin Substitusi"


***
            Penantian. Itulah yang terjadi pada diriku saat ini. Aku tak tahu sampai kapan aku akan terkurung di dalam penantian yang tak berujung ini.
            Ya, aku memang sedang menantikan seseorang yang pernah mengisi relung hatiku. Menghiasi setiap bentang waktu yang berjalan dalam hari-hariku. Aku sangat menyayanginya. Tapi karena keegoisannya ia memilih untuk pergi.
            Rangga. Ya, dia Rangga.
            ***                                                            
            Ku langkahkan kakiku menyusuri stasiun sore itu. Ya, di tempat inilah ia terakhir melambaikan tangan padaku. Meninggalkan sejuta janji yang entah kapan akan terpenuhi.
            Aku terus berjalan di antara lalu lalang manusia, diantara deru raungan kereta api. Pandanganku menyapu tiap detail sudut stasiun, berharap sosoknya akan muncul. Tapi lagi-lagi aku harus kecewa. Tak mampu lagi kusimpan kekecewaan dalam wajahku.
            Sampai kapan aku akan begini? Setiap minggu aku mengunjungi stasiun ini, tapi setiap minggu pula aku harus menahan keputusasaan. Tapi kerinduanku padanyalah yang memrobohkan keputusasaan itu.
            Semilir angin sore menghantarkanku duduk di salah satu bangku stasiun. Aku duduk bersebelahan dengan seorang bapak-bapak yang sedang membaca koran. Ia tampak hanyut dalam bacaannnya. Hmm, sungguh mengasyikkan pikirku.
            Tiba-tiba sebuah pesan masuk, menggetarkn handphoneku hingga membuat tanganku terulur mengambilnya. “Cepat Pulang !” begitulah isi pesan itu. Dari ibu.
            Aku tahu, aku tidak mungkin lupa. Hari ini akan ada pertemuan keluargaku dengan keluarga Hadi Karisma. Membicarakan perjodohan kakakku, Kak Rinda dengan anak Pak Hadi Karisma itu. Beliau relasi bisnis ayah.
            Zaman memang mudah sekali berputar, hingga dengan mudahnya saat ini harus kembali ke zaman Siti Nurbaya. Kasihan Kak Rinda, ia tak pernah setuju dengan perjdohan ini. Ia hanya ingin laki-laki pilihannya, bukan laki-laki pilihan ayah dan ibu.
            Aku mulai beranjak. Akhirnya kulangkahkan kaki meninggalkan stasiun. Namun sekali lagi pandanganku menyapu setiap sudut stasiun. Terkesan konyol memang, tapi aku tak bisa menahan gejolak dalam hatiku ini.
            ***
            Setelah membayar ongkos taksi, aku bergegas masuk.
            “Aku terlambat.” Kalimat itulah yang pertama kali muncul di benakku saat aku masuk ke dalam rumah. Ternyata keluarga Hadi Karisma sudah bercengkerama bersama ayah dan ibu.
            “Aura, kemana saja kau nak? Kami sudah menunggumu.” Kata ibu saat melihatku.
            “Maaf Bu, aku ada urusan.” Jawabku datar.
            “Ya sudah, sekarang panggil kakakmu di kamarnya. Dari tadi ia belum turun juga.” Sahut ayah. Aku hanya mengangguk, lantas bergegas aku ke kamar Kak Rinda. Perasaanku tak enak. Aku menapaki setiap petak tangga dengan perasaan galau.
            “Kak Rinda, ayah dan yang lain sudah menunggu kak.” Kataku sambil mengetok pintu kamar Kak Rinda. Tapi tak ada jawaban. Tak ada sedikitpun suara yang terdengar. Lalu kucoba untuk membuka pintu. Ternyata tidak dikunci. Tanpa pikir panjang akupun masuk.
            Tak kutemukan sosok Kak Rinda. Kosong. Aku bingung, hingga aku melihat sepucuk surat tergeletak di meja riasnya.
            Tanganku bergetar membukanya. Hingga akhirnya aku tahu apa isi surat itu.
            Maafkan Rinda, ayah ibu. Rinda tidak bisa menjadi yang terbaik. Rinda ingin kehidupan yang sesuai dengan keinginan Rinda. Rinda ingin pilihan Rinda sendiri. Maafkan Rinda.
                                                                                                                        Rinda
            Bergegas aku berlari turun. Lalu kubisikkan apa yang sudah terjadi pada ayah dan ibu. Tak ayal  ayah dan ibu pun panik, tentu hal ini membuat keluarga Hadi Karisma heran. Tapi ayah dan ibu berusaha untuk tidak memberitahu terlebih dahulu. Lalu ayah dan ibu mengajakku ke atas. 
            ***
            “Bagaimana ini, yah? Kita bisa malu.” Seru ibu saat selesai membaca surat Kak Rinda.
            “Rinda sudah membuat kita kecewa Bu. Kalau begini nasib kita bagaimana?” jawab ayah dengan tak kalah panik.
            “Perusahaan kita bisa hancur, yah. Kita bisa bangkrut kalau kita tidak berrelasi dengan baik dengan Keluarga Pak Hadi. Mereka akan kecewa.” Sahut Ibu.
            Aku hanya bisa diam. Aku juga tak menyangka semua akan seperti ini. Semua diluar dugaanku.
            Tapi entah angin apa yang merasuki pikiran ayah hingga ayah memberikan jawaban yang membuat otakku serasa buntu.
            “Perjodohan ini harus tetap dilaksanakan. Biarlah Aura yang menggantikan Rinda. Bagaimana menurut ibu?”
            “Ya, mungkin ini satu-satunya jalan. Kau mau kan Aura? Ini demi keluarga kita dan demi perusahaan kita.” Kata ibu.
            Praaang. Dunia ini serasa akan runtuh. Gila. Semua ini sungguh gila. Mengapa harus aku? Apa yang harus aku lakukan?
            “Ayah mohon Aura.” Kata ayah kemudian.tapi sungguh diluar dugaanku, ayah berlutut di depanku. Jika begini, aku tak punya pilihan lain.
            “Baiklah ayah, demi kalian.” Jawabku sembari melanting ayah berdiri. Merekapun memelukku.
            Mungkin ini takdirku. Aku tak pernah punya pilihan. Lalu bagaimana dengan Rangga? Lalu apa gunanya aku selalu menantinya jika semua harus seperti ini? Ah entahlah.
            ***
            Saat kami turun, keluarga Hadi Karisma sungguh heran. Mereka pun bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Lalu ayahpun menjelaskan semuanya. Termasuk ide konyol, tentang aku yang akan menggantikan Kak Rinda.
            Entah ada apa dengan hari ini? Hari ini gila. Hingga membuat semua orang juga gila.
            Tak hanya ayah yang hampir membuat duniaku runtuh, tapi juga Pak Hadi Karisma. Diluar dugaanku, beliau menerima ide ayah itu dengan senang hati. Begitu pula anak laki-lakinya.
            Apa-apan ini? Apa mereka cuma main-main dengan perjodohan ini? Mengapa sepertinya mereka tak masalah menerima begitu saja akan siapa yang akan dijodohkan dengan anaknya? Aku pusing. Ingin rasanya aku berteriak. Ingin rasanya aku lenyap dari bumi ini.
            ***
            “Baiklah, Pak Bu. Kita tinggalkan saja mereka berdua disini. Kita membahas masalah perusahaan kita saja di belakang.” Sahut ibu mengakhiri diskusi konyol itu.
            “Oh, mari.” Jawab Pak Hadi Karisma. Dan merekapun beranjak.
            Kini tinggal ada aku dan anak laki-laki Pak Hadi Karisma itu. Kami duduk berhadapan. Ia menatapku, lalu tersenyum. Kuakui senyumnya manis, tatapan matanya juga meneduhkan jiwa. Sepertinya dia lelaki baik-baik.
            “Bisma Karisma.” Itulah kalimat pertama yang dia utarakan sembari mengulurkan tangan.
            “Aura Indraguna.” Jawabku sambil membalas uluran tangannya.
            Kehangatan tangannya mengantarkan impuls-impuls keakraban ke dalam pikiranku.
            Dan itulah awal perkenalanku dengan laki-laki bernama Bisma Karisma itu. Perkenalan yang cukup menyenangkan, pikirku.
            ***
            Waktu terus berjalan tak bisa kuhentikan.
            Keluargaku dan keluarga Hadi Karisma hanya memberiku waktu satu bulan untukku dan Bisma saling mengenal satu sama lain. Sungguh singkat. Bahkan sangat singkat. Tapi apa daya? Aku tak mampu lakukan apa-apa.
            Dan akhirnya pernikahan yang tak pernah aku harapkan itu tiba. Aku nampak anggun dengan pakaian pengantinku. Andai saja yang nanti berada disampingku itu Rangga, pasti jauh lebih indah. Tapi ini tidak.
            Kini aku telah resmi menjadi Nyonya Bisma Karisma, seorang pengusaha sukses yang terkenal. Bangga? Ah, tidak aku merasa biasa saja.
            Aku menatap nanar tiap tamu yang berdatangan. Aku juga harus  selalu tersenyum pada tiap tamu yang menyalamiku. Mungkin wajahku terlihat sangat bahagia, tapi hatiku tidak.
            “Selamat menempuh hidup baru.” Kata-kata itu hampir selalu kudengar. Mungkin kata-kata itu indah bagi mereka, tapi telingaku sungguh miris mendengarnya.
            ***
            “Kalau kau, belum siap dengan semua ini kau boleh tinggal sementara waktu dengan orangtuamu.” Kata Bisma saat pesta pernikahan itu usai.
            “Aku sudah cukup dewasa, jadi aku tahu dimana aku harus berada.” Jawabku datar.
            “Oh baiklah.”
            “Kenapa kamu mau dijodohkan denganku? Bukannya seharusnya kau dijodohkan dengan Kak Rinda?” tanyaku pada Bisma kemudian.
            Ia tersenyum, lalu berkata, “Aku tak punya pilihan. Aku selalu gagal dengan pilihanku. Kini biarlah orangtuaku yang memilih. Jadi siapapun dia, aku terima. Kau ataupun kakakmu itu tak masalah bagiku.”
            Sungguh penjelasan yang aneh. Heran, itu yang kurasakan kini.
            ***
            Ternyata semua tak seburuk yang kubayangkan. Aku dan Bisma cukup bahagia. Meskipun ia lebih sering sibuk dan berada di luar rumah.
            Kini genap satu tahun aku menikah dengannya. Tak terasa.
            Dan malam ini Bisma mengajakku untuk dinner di salah satu restauran terkenal. Ia mengatakan jika ia ingin merayakan usia pernikahan kita yang sudah berjalan satu tahun.
            ***
            Dengan dress selutut berwarna ungu cerah aku berangkat bersama Bisma yang mengenakan kemeja abu-abu dan blazer. Dia nampak elegan malam ini. Aku suka.
            Pukul 18.00 kami berangkat. Mobil kami melaju membelah keramaian kota. Diantara kendaraan yang juga berlalu lalang.
            Tak sampai 20 menit, kami sampai di restauran yang kami tuju. Sepertinya tak terlalu ramai malam ini. Syukurlah.
            Setelah kami duduk, kamipun memesan makanan. Semua berjalan tenang dan menyenangkan. Tapi semua itu berubah, saat tiba-tiba ada seseorang yang mengahampiriku.
            “Aura? Ternyata kau disini? Aku sangat merindukanmu.” Kata seseorang yang tiba-tiba langsung memelukku erat.
            “Rangga?” ungkapku terkejut.
            “Iya ini aku. Aku kembali, Aura.” Jawabnya sembari mengecup keningku.
            Aku melihat ekspresi Bisma yang tak karuan di sampingku. Ia membuang muka.
            “Apa-apaan kamu Rangga? Aku sudah menikah, dan dia suamiku.” Kataku dengan sedikit berteriak.
            “Apa? Jadi kamu?”
            “Iya Rangga, kau terlambat. Padahal sudah sekian lama aku menunggumu.”
            “Ayo kita pulang !” bentak Bisma padaku, lalu ia menarik tanganku kasar.
            ***
            “Apa maksud semua ini, Aura?” seru Bisma sesampainya di rumah. Ia terlihat sangat marah. Sangat.
            “Aku benar-benar tak tahu Rangga akan datang. Aku benar-benar tak tahu Bisma.” Jawabku pelan.
            “Jadi dia laki-laki yang pernah kau ceritakan padaku dulu?” tanya Bisma.
            Aku hanya mengangguk. Tak kuasa air mataku menetes deras di pipiku.
            “Bodoh. Sial.” Umpat Bisma.
            Lalu Bisma terdiam cukup lama.
            “Baiklah, aku memutuskan supaya kita pindah saja ke Singapura. Biar ayahku yang mengurus perusahaan disini. Dan aku yang akan mengurus perusahaan ayah di Singapura.” Kata Bisma kemudian.
            “Apa? Tapi........”
            “Sudahlah, aku ingin kita hidup tenang. Tanpa gangguan dari masa lalu.”
            “Tapi kan kita bisa selesaikan dengan baik-baik.”
            “Itu sudah menjadi keputusanku. Besok kita berangkat.”
            Lalu Bisma beranjak pergi. Kini aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kehidupanku semakin pelik.
            ***
            Hari ini aku akan meninggalkan Indonesia. Meninggalkan semua kenangan yang tersisa.
            Setelah mengemas barang, kamipun berangkat. Tapi kami akan terlebih dahulu pamit pada ayah dan ibu.
            Saat aku berpamitan dengan ibu, sungguh terasa berat ia melepasku. Tapi ia juga tak punya pilihan. Aku sudah memiliki kehidupan sendiri. Sebenarnya aku juga ingin berpamitan dengan Kak Rinda, tapi ia belum juga pulang hingga kini. Padahal aku sangat merindukannya.
            Setelah berpamitan, kami segera menuju bandara. Ayah dan ibu memang tak bisa mengantar kami ke bandara karena ada urusan. Ya sudahlah, tak apa.
            ***
            “Pesawat Garuda Airlines dengan tujuan Singapura, akan take off 10 menit lagi.” Demikianlah pengumuman yang kami dengar saat barang kami selesai diperiksa.
            “Ayo Aura, nanti kita bisa telat.” Kata Bisma.
            “Ya.” Jawabku.
            Lantas kami mempercepat langkah kami.
            ***
            “Aura, taukah kamu jika aku kini menyadari bahwa aku menyayangimu.” Kata Bisma saat kami sudah berada di pesawat.
            Aku sungguh terkejut dengan apa yang dikatakan Bisma. Apa dia serius dengan kata-katanya? Tapi sesungguhnya aku juga tak bisa memungkiri jika benih-benih cinta itu mulai hadir di hatiku.
            “Aku juga, Bis. Aku menyayangimu.” Jawabku kemudian.
            Lalu ia mengusap pipiku lembut, dan menarik daguku. Ia mendaratkan kecupan manis di bibirku. Tapi tiba-tiba semua menjadi gelap.
            ***
            “Pesawat Garuda Airlines dengan tujuan Singapura kemarin, jatuh di perairan Sumatra. 20 orang tewas dan 36 orang lainnya hilang.”
            Demikianlan bunyi headline news hari ini. Berita itu menghiasi berita-berita di televisi maupun koran. Tak ada yang menyangka.
            Tak ayal, berita itu pun menggemparkan keluarga besar Indraguna dan keluarga besar Karisma. Tak terkecuali, juga seorang anggota keluarga Indraguna yang selama ini menghilang. Rinda Indraguna. Ia sangat menyesal. Sangat.
            Tapi semua telah terjadi.

1 comment:

 Candu ***      Aku berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit. Jam kerja shiftku sudah berakhir. Waktunya kembali ke rumah dan merebahkan punggu...