Friday, September 25, 2020

 Candu

***

    Aku berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit. Jam kerja shiftku sudah berakhir. Waktunya kembali ke rumah dan merebahkan punggungku yang rasanya sudah pegal dan kaku. Pasien hari ini cukup banyak sehingga membuatku bekerja lebih keras dari biasanya. 

    "Lun, tunggu." Ada yang memanggil. Langkahku terhenti.

    Lalu ada seseorang yang datang menghampiriku. Gendhis.

    "Iya, Dhis? Ada apa?" tanyaku sambil merapikan letak tas yang ada di lenganku.

    "Aku minta tolong berikan rekam medis pasien ini ke poli penyakit dalam 03 ya. Kamu lewat sana kan?" Balas Gendhis. 

    Aku mengangguk. Kuterima satu berkas rekam medis itu. "Baiklah, Dhis. Ada lagi?"

    "Tidak kok. Hanya itu. Terimakasih, Lun." Ujar Gendhis sambil tersenyum manis.

    Setelah itu aku berpamitan. Langkahku terayun menuju ke poli penyakit dalam 03. Kulihat bangku-bangku ruang tunggu di depan poliklinik sudah mulai kosong. Hanya ada beberapa orang yang duduk disana. Dan satu-satunya poli yang masih buka hanyalah poli penyakit dalam 03.

    Aku berdiri di depan pintu, menelisik keadaan di dalam. Tampak ada seorang pasien yang sedang berkonsultasi dengan seorang dokter. Namun tak lama pasien itu berdiri dan berpamitan sambil mengucapkan terimakasih.

    "Eh mbak Luna. Ada apa?" Aku sedikit terkejut saat tiba-tiba perawat yang bertugas keluar menghampiriku.

    "Siang Bu Ratri. Mau menyerahkan rekam medis ini. Titipan dari Gendhis."

    "Masuklah. Saya ke Kassa dulu ya."

    "Baik bu."

    Bergegas aku masuk. Disana aku menemukan seorang laki-laki berkacamata memakai masker tampak sedang menulis rekam medis pasien.Untuk sepersekian detik aku terdiam. Sampai akhirnya ia tersadar dengan keberadaanku dan melihat ke arahku.

    "Siang dok. Ada titipan rekam medis untuk dokter."

    Ia tampak menganggukan kepala lalu membetulkan letak kacamatanya.

    "Ohh, baiklah. Terimakasih ya." Ujarnya lembut.

    Aku teringat sesuatu. Bukankah seharusnya poli ini adalah polinya dokter Putra. Kenapa bukan dokter Putra yang bertugas?

    "Ada lagi?" 

    Lamunanku buyar seketika.

    "Tidak dok. Baiklah saya pamit dulu." Aku jadi sedikit kikuk. Duh, bisa-bisanya aku melamun di depannya.

    "Tunggu. Bukankah kamu yang kemarin kutemui di depan ruang bedah?"

    Aku mengurungkan langkahku. Sambil menatapnya aku berusaha mengingat memori hari kemarin. Tak berselang lama ia melepaskan maskernya sambil tersenyum. Dan ku akui senyumnya itu manis. Sungguh!

    "Ingat kah?" Tanya nya lagi.

    "Iya ingat dok. Yang dokter bertanya dimana poli penyakit dalam kan?" balasku.

    Iya mengangguk pelan. Lagi-lagi sambil tersenyum. Tolong, aku bisa diabetes lama-lama disini!

    "Betul. Saya Saga." Ujarnya sambil mengulurkan tangan.

    "Saya Kaluna dok. Panggil Luna saja." Sambil membalas uluran tangannya.

    "Salam kenal Luna. Terimakasih atas bantuannya kemarin."

    "Dokter baru disini ya dok?"

    "Bukan. Saya hanya menggantikan Putra. Kebetulan dia lagi ada simposium di luar kota."

    Aku hanya ber-ohh ria sambil mengangguk-angguk. Setelah kurasa cukup, aku bergegas berpamitan. Meninggalkan senyumnya yang masih membekas di pelupuk mata, penyebab penyakit diabetes kedua setelah gula. Tolong maklumi hiperbolaku ini.

***

    Siang ini begitu terik. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 tapi masih saja panas. Pemanasan global memang sudah separah ini. Lapisan ozon sudah menua. Sudah tak mampu melindungi kita dari sinar matahari. Ah sudahlah, pikiran macam apa ini. Lebih baik aku segera meluncur pulang. Kalau kesorean bisa-bisa tidak dapat angkot. Maklum motor sedang tidak bersahabat. Ngambek sepertinya.

    Aku duduk di seberang rumah sakit, di depan sebuah warung. Kulihat di sebelah timur ada semburat mendung menyelimuti. Cuaca sepanas ini, akankah turun hujan? Manakah yang akan menang, ketika panas dan mendung beradu. Cukup Luna, fokuslah menunggu angkotmu. Aku sudah seperti anak indie yang lekat dengan syair dan puisi. Hahaha.

    Namun perlahan mendung itu berjalan. Sehingga terik panas yang sebelumnya begitu membara, berganti menjadi suasana sendu mendung. Sebentar lagi mungkin saja turun hujan, dan aku tak membawa payung. Bolehkah aku berharap ada seorang pangeran tampan berkuda putih menjemputku dan mengantarkanku pulang. Harapan macam apa ini. Tuhan pun pasti akan tertawa mendengar permintaan ini. Astaga Luna.

    Tiba-tiba ada mobil berhenti tepat di depanku. Dan kaca mobil pun turun perlahan.

    "Luna?"

    "Dokter Saga?"

    "Mau pulangkah?"

    Aku mengangguk.

    "Mau bareng?"

    Tuhan, apakah Engkau mengabulkan permintaanku kali ini? Aku tadi hanya bercanda, tapi Engkau seserius ini Tuhan. Oh my God!

    "Bagaimana, Lun. Mau?"

    Astaga, sampai aku tak menggubris pertanyaannya.

    "Kalo tidak keberatan dok."

    "Dengan senang hati. Masuklah."

    Sekali lagi aku mengangguk. Dengan hati-hati aku membuka pintu dan masuk ke mobil. Kulirik sekilas ada beberapa pasang mata yang melihat ke arahku dengan tatapan bertanya. 

    "Kamu menunggu siapa?" Tanya dokter Saga saat mobil mulai melaju pelan.

    "Angkot dok. Kebetulan tidak pakai motor hari ini."

    "Jangan panggil "dok". Cukup saat di rumah sakit saja."

    Lagi-lagi ia tersenyum. Duh, candu!

    "Kupanggil "kak" saja kalau begitu."

    Ia mengangguk sambil menatapku sekilas. Lalu kembali menatap ke depan. Setelah itu hening. Hanya suara mesin dan lalu lalang kendaraan yang terdengar, diiringi rintik hujan yang mulai turun. 

    "Kak......"

    "Hmm..."

    Suaranya saat mengatakan "hmm" dengan manja membuatku sedikit terkesiap hingga aku terdiam.

    "Ada apa, Luna?"

    "Eh iya, dok. Eh Kak, di rumah sakit sampai kapan?"

    Ia tertawa pelan melihat aku yang sempat salah tingkah.

    "Sampai Putra pulang. Dia belum memberi kabar lagi. Mungkin besok dia pulang. Jadi ya bisa saja besok terakhir aku menggantikannya."

    "Ohh begitu. Ku kira akan menetap, Kak."

    Ia tersenyum lagi. Baiklah, aku mulai terbiasa dengan jenis candu baru ini. 

    "Bagaimana kalau kita makan dulu."

    "Emmm....."

    Aku sebenarnya merasa tidak enak. Aku belum lama mengenalnya tapi sudah merepotkan. Diantar pulang saja aku sudah sangat berterimakasih.

    "Anggap saja sebagai ucapan terimakasihku karena kamu sudah membantuku kemarin."

    Mungkin ia tahu apa yang aku pikirkan.

    "Baiklah."

    Tak lama kemudian, kami sampai di sebuah cafe. Dengan rintik hujan yang masih mengiringi dan hawa dingin yang menyeruak. Lalu sembari makan, ia menceritakan tentang dimana sebenarnya dia bekerja, dimana asalnya dan sebagainya. Ada cukup banyak hal yang ia ceritakan. Aku tak punya cukup ruang untuk menceritakannya disini, jadi jangan penasaran ya. Haha.

    Disitu kami pun bertukar media sosial. Saling follow instagram dan nomor whatsapp. Bersendau gurau dan tertawa dengan humor receh yang kami ceritakan masing-masing.

    ***

    "Apa yang kamu pikirkan tentang sebuah quotes yang mengatakan kamu bisa berencana menikah dengan siapa, tapi kamu tak bisa memilih jatuh cinta dengan siapa."

    Aku terhenyak. Saat di tengah perjalanan pulang tiba-tiba ia menanyakan hal ini.

    "Aku setuju dengan kata-kata itu, Kak. Karena cinta suka datang tiba-tiba tanpa pernah kita rencanakan sebelumnya."

    "Iya kamu benar. Cinta itu gila. Terkadang tak memandang status, tak memandang teman, ketika cinta sudah bicara semua bisa ambyar seketika."

    "Itu juga kah yang kamu alami kak?"

    Kulihat mimik mukanya berubah. Ada sendu yang tersirat disana. 

    "Aku sudah lama......"

    Ia terdiam. 

    Aku masih menatapnya sambil menunggu kelanjutan kata-katanya. Wajahnya yang kuakui memang tampan, membuatku terpaku di awal bertemu. Jika bisa kubilang ia sempurna. Tampan, seorang dokter spesialis lulusan kampus bonafit, baik. Lengkap bukan?

    "Aku divorce, Lun."

    Degg! Aku terhenyak. Terdiam.

    "Benar ini gang rumah kamu, Lun?" Ujarnya kemudian.

    "Eh.....emm iya kak. Aku turun disini saja, tinggal jalan 10 meter."

    "Apa aku perlu bilang ke orangtua kamu kalau aku mengajakmu makan dan pulang telat?"

    Aku menggeleng. "Nanti biar aku yang bilang."

    Lalu bergegas aku turun. Dan setelah berpamitan, ia melajukan mobilnya. Meninggalkan aku yang masih terpaku menatap mobil putihnya yang berjalan menjauh.

    Masih ada yang tertinggal. Bukan wangi parfumnya yang wangi wajar, bukan senyumnya yang jadi candu. Tapi kata-kata "Aku divorce, Lun."

***

    Waktu berlalu. Pertemuan kami waktu itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Kak Saga. Setelah itu ia tak ada kabar lagi. Aku memakluminya, ia pasti sibuk. Jadi aku tak mempermasalahkan itu. Aku hanya cukup mengaguminya. Perkenalan dan pertemuan singkatku dengannya tak cukup menjadi alasan kuat untukku berharap lebih. 

    Mengenalnya membuatku belajar, bahwa tak ada manusia yang sempurna. Bahkan manusia dengan banyak kelebihan pun ternyata memiliki kekurangan yang tak pernah kita duga.

    Oh iya, hari ini aku pulang lebih awal karena kebetulan yang shift siang datang lebih awal. Pasien tal terlalu banyak, jadi pekerjaan sudah selesai lebih awal. Aku bergegas segera pulang. Sejak siang mendung menyelimuti, aku takut hujan turun sebelum aku sampai rumah. Kali ini aku kembali naik angkot. Bukan karena motor ngambek. Tapi karena motorku dipakai adek. 

    "Luna....."

    Langkahku terhenti. Ada suara yang cukup familiar memanggilku. 

   Aku terhenyak saat aku melihat siapa yang memanggilku. Ia masih sama. Masih dengan senyumnya yang selalu menjadi candu. 


-selesai-

-cynthia-

25-09-2020

21.01


No comments:

Post a Comment

 Candu ***      Aku berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit. Jam kerja shiftku sudah berakhir. Waktunya kembali ke rumah dan merebahkan punggu...